Penulis: April Lin, Ketua
Bertempur di Gobi: Dari Keruntuhan Menuju Keunggulan — Sebuah Praktik Kepemimpinan dalam Ketahanan Tim
Prolog: Aspirasi dan Jangkar di Padang Belantara
Membawa kerinduan puitis akan padang pasir Dunhuang yang luas — “sungai panjang bersinar di bawah matahari terbenam, dan asap tunggal membubung lurus” — bercampur dengan rasa ingin tahu dan sedikit kekaguman terhadap “Tantangan Gobi” yang legendaris, saya memulai perjalanan yang disebut Kepemimpinan Aksi ini. Sebelum keberangkatan, rasionalitas mengalahkan romantisme. Saya tahu betul ini bukan perjalanan santai. Karena itu, saya menetapkan dua tujuan sederhana namun gigih untuk diri saya sendiri: pertama, apa pun yang terjadi, untuk menyelesaikan seluruh rute dengan kaki saya sendiri — tidak melewatkan satu langkah pun; kedua, tidak pernah memperlambat tim karena alasan pribadi, dan jika memungkinkan, untuk menyumbangkan energi positif dan ketahanan bagi kolektif sementara ini.
Satu tujuan mengarah pada ketahanan pribadi, yang lainnya mengarah pada tanggung jawab tim. Kedua jangkar ini, yang berat namun kokoh, menjadi batu pemberat untuk setiap perjuangan dan setiap momen kejayaan yang mengikutinya.
Pada upacara pembukaan, Profesor Li menyampaikan kuliah yang mendalam tentang Empat Dimensi Kepemimpinan dan tantangan inti kerja tim. Namun, sebelum teori-teori tersebut sempat tertanam dalam benak kami, kami langsung terlempar ke Gobi — tungku praktik.
Tim yang kami bentuk dengan tergesa-gesa disebut "tim", tetapi sebenarnya, itu adalah contoh klise dari sebuah "kelompok". Tanpa saling memahami karakter, stamina, atau latar belakang masing-masing, kami terburu-buru memilih seorang kapten — seorang "pria baik" yang baik dan menyenangkan. Pemilihannya bukan karena kemampuan yang telah ditunjukkan, melainkan karena keinginan untuk segera menyelesaikan formalitas organisasi di lingkungan yang belum dikenal.
Maka dimulailah 26 km kekacauan kami — sebuah demonstrasi sempurna dari "Lima Disfungsi Tim" yang dijelaskan Profesor Li. Kami bagaikan pasir yang diterbangkan angin kencang:
Hilangnya Kepercayaan — Kita tidak saling mengenal, apalagi saling percaya. Setiap orang mengenakan baju zirah yang tak terlihat, menyembunyikan kelelahan dan kelemahan, takut dihakimi. Hasilnya: setiap orang berjuang dalam pertempurannya sendiri — yang kuat terus maju, yang berjuang tertinggal jauh di belakang — membentangkan "tim" kita menjadi barisan yang panjang dan terputus-putus.
Takut Konflik — Harmoni yang dangkal membunuh semua debat yang produktif. Ketika kapten kami secara samar mengusulkan "mari kita berusaha menjadi yang tercepat," tak seorang pun mempertanyakannya. Kami bersama-sama mengabaikan aturan penilaian yang bernuansa — di mana kerja sama tim, kesadaran lingkungan, dan pilihan strategis sebenarnya lebih berharga daripada kecepatan. Kurangnya ketepatan analisis ini menghancurkan strategi kami sejak awal.
Kurangnya Komitmen — Keputusan tentang bagaimana melanjutkannya masih samar dan tentatif: "Haruskah kita memperlambat?" "Mungkin istirahat sejenak?" Komunikasi penuh ketidakpastian, tanpa komitmen yang kuat. Setiap orang menafsirkan keputusan secara berbeda, yang mengakibatkan eksekusi yang kacau.
Penghindaran Akuntabilitas — Tujuan pribadi sangat berbeda dengan tujuan tim. Ketika hasil tidak memuaskan, frasa "Saya telah melakukan yang terbaik" menjadi tameng yang nyaman — menyiratkan "Saya telah menjalankan tugas saya; kegagalan tim bukanlah kesalahan saya." Bendungan tanggung jawab runtuh diterjang banjir individualisme.
Kurangnya Perhatian terhadap Hasil — Pada akhirnya, kami finis di posisi terbawah karena strategi yang pada dasarnya salah. Hasil pertandingan langsung menampar kami, menyadarkan kami dari delusi kolektif.
Sesi evaluasi malam itu sungguh berat. Dibimbing oleh pelatih kami, kami memulai refleksi diri yang menyakitkan. Baru kemudian kami menyadari bahwa kami telah berjuang tanpa tahu mengapa kami berjuang. Tanpa visi bersama, kurangnya komunikasi dan struktur pengambilan keputusan, tim kami yang disebut-sebut telah runtuh begitu saja saat kesulitan pertama kali muncul. Kegagalan, pada saat itu, merupakan kebangkitan yang paling menyakitkan sekaligus paling penting.
Kegagalan adalah guru terbaik. Setelah semalaman merenung dan mengkalibrasi ulang, sebuah transformasi mendalam terjadi secara diam-diam — namun cepat — dalam tim kami keesokan paginya.
Pertama, kepemimpinan muncul.
Rekan setim kami, Shugang, yang sebelumnya tak pernah disorot, maju untuk mengemban tanggung jawab. Kepemimpinannya bukan berlandaskan jabatan, melainkan tindakan dan keyakinan. Ia bukan lagi "pembawa damai" sejak hari pertama, melainkan inti penentu arah. Ia memimpin dengan memberi contoh, memikul beban terberat saat kelelahan memuncak, menunjukkan kepada semua orang melalui tindakan: "Kita bersama-sama dalam hal ini." Ia dengan jelas mengartikulasikan kemungkinan dan jalan menuju kemenangan, menyalakan keberanian dan harapan kolektif kami. Kemudian, saya mengetahui bahwa pengaruhnya telah sangat meningkatkan modal psikologis tim kami, sebagaimana didefinisikan oleh model HERO :
Berikutnya adalah kejelasan strategis.
Kami meninggalkan obsesi terhadap kecepatan dan mengadopsi strategi "utamakan skor" yang presisi. Kami menganalisis setiap aturan, mengkuantifikasi setiap item penilaian, dan memetakannya ke dalam rencana konkret. Sebuah komite keputusan beranggotakan tiga orang dibentuk, menggunakan mekanisme pemungutan suara cepat "dua dari tiga" — menandai peralihan kami dari keputusan "berbasis orang" yang kacau ke "tata kelola sistem" yang terstruktur. Efisiensi melonjak, dan karena keputusan dibuat secara transparan, komitmen di seluruh tim semakin kuat.
Lompatan yang paling menentukan datang melalui proyek ESG kami.
Hal ini mengharuskan kami menginvestasikan sebagian besar "dana" virtual kami ke dalam inisiatif lingkungan — berisiko tinggi, berhadiah tinggi. Setelah perdebatan sengit, kami dengan suara bulat memutuskan untuk mengambil risiko. Ini bukan lagi perintah pemimpin atau kompromi yang terpaksa — melainkan pilihan kolektif yang berkomitmen penuh. Ketika keputusan itu membuahkan kebangkitan dramatis dan mendorong kami menuju kemenangan, kami tidak hanya merasakan kemenangan, tetapi juga sensasi yang bisa disebut "menunggangi angin keberuntungan".
Hal ini mengajarkan kita sebuah kebenaran penting: dalam kehidupan dan bisnis, waktu, keselarasan, dan keberuntungan semuanya memainkan peran penting — dan terkadang, pertaruhan yang berani dan strategis adalah satu-satunya jalan menuju keunggulan.
Pada hari ketiga, tim kami telah mencapai titik harmoni. Kepercayaan bukan lagi sekadar konsep; melainkan naluri—yang mengalir deras di nadi kami. Kata-kata tak lagi dibutuhkan; tatapan atau gestur saja sudah cukup.
Dipandu oleh tujuan kami yang jelas dan berapi-api — memenangkan kejuaraan — kami menyusun rencana taktis yang tepat: mempertahankan kecepatan 9 menit per kilometer yang stabil untuk 30 km terakhir. Rasanya seperti misi militer, dan kami adalah unit operasi khusus yang disiplin.
Sepanjang perjalanan, kapasitas kami untuk menanggung dan mendukung mencapai puncaknya. Anggota yang lebih kuat memikul beban lebih berat dan menyemangati yang lebih lemah. Mereka yang berirama mantap memimpin langkah; yang jeli mengamati medan dan mengelola perbekalan. Kami bergerak sebagai satu kesatuan — organisme hidup yang saling bergantung.
Ketika kami akhirnya melewati garis finis, sambil menengok kembali ke Gobi yang pernah mengalahkan kami, saya merasakan pemahaman mendalam tentang empat dimensi ketahanan organisasi yang sepenuhnya terwujud dalam diri kami:
Setelah kursus berakhir, sambil menonton The Qin Empire Epic , saya mendapatkan wawasan baru. Dalam satu adegan, Raja Ying Zheng dari Qin, saat parade militer, bersumpah untuk "menyatukan Enam Kerajaan." Itu bukan sekadar ambisi, melainkan sebuah visi agung yang menarik bakat-bakat dari seluruh penjuru kerajaan — Zhang Yi, Fan Ju, Li Si, Wang Jian — semuanya tertarik oleh misi bersama tersebut.
Sebaliknya, adegan lain di mana Raja Zhuangxiang menegur Ibu Suri Huayang mengungkapkan mengapa ia tak pernah bisa menjadi pemimpin sejati — visinya yang terbatas. Terobsesi dengan persaingan di istana dan keuntungan pribadi, ia terjebak dalam "diri yang kecil", buta terhadap kebaikan kerajaan yang lebih besar.
Ini benar-benar mencerminkan apa yang saya pelajari dari Gobi:
Seorang pemimpin yang hebat harus melampaui ego dan kepentingan pribadi, dipandu oleh visi dan kebaikan bersama. Tim kami pun baru mengerahkan seluruh kekuatannya ketika kami beralih dari "tidak menjatuhkan orang lain" — diri yang kecil — menjadi "berjuang untuk kejuaraan tim" — diri yang lebih agung.
Perjalanan Gobi adalah pengalaman belajar yang mendalam dan nyata — bukan dari buku mana pun yang pernah saya baca, tetapi lebih berdampak daripada teori apa pun. Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa tim yang hebat tidak pernah lahir; melainkan dibentuk — melalui krisis, melalui kepemimpinan yang jelas, visi bersama, pengambilan keputusan yang efektif, dan budaya tanggung jawab bersama.
Yang lebih penting, hal itu menghancurkan keyakinan saya yang membatasi diri. Saya menyadari bahwa saya mampu melakukan jauh lebih dari yang saya bayangkan — dan bahwa kejayaan tim lebih berarti daripada kenyamanan pribadi. Saya sangat memahami: ketahanan pribadi adalah landasan ketahanan tim.
Ke depannya, saya akan menerapkan energi dan kebijaksanaan yang saya peroleh dari gurun pasir untuk setiap "Gobi" yang kita hadapi dalam pekerjaan nyata. Saya akan mempraktikkan "Metode Tinjauan Gobi" kami, yang mendorong refleksi terbuka dan jujur ketika proyek menemui hambatan. Saya akan mulai dengan berbagi kerentanan saya sendiri—kebingungan dan kecemasan atas kegagalan hari pertama kami—karena sekarang saya tahu: kejujuran dan kerentanan seorang pemimpin adalah alat paling ampuh untuk membangun kepercayaan yang mendalam dan menginspirasi pengikut.
Bersama-sama, kita akan menghadapi tantangan, mencari solusi, dan pada akhirnya, menjalani perjalanan besar dari “saya” menjadi “kita”.
R&pusat D: Markas Besar Dongguan
Pusat manufaktur: Susong, Anqing, Anhui